Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berpuasa Sarana Pengendalian Diri

MuhamadNurdin.com -  - Tak mungkin ada kupu-kupu tanpa melewati proses menjadi kepompong, begitu pelajaran alam yang sering dikutip para motivator. Puasa yang kita jalani sesungguhnya sedang mengantarkan kita berproses menjadi manusia yang seutuhnya, yakni manusia yang mendapatkan derajat taqwa, sebagaimana tujuan berpuasa itu sendiri (QS Al Baqarah : 183), sebagai satu-satunya manusia yang paling mulia disisi Allah Swt (QS Al Hujurat: 13).



Dalam diri manusia terdiri dari jasmani dan rohani yang masing-masing memiliki makanan tersendiri. Orang yang berpuasa (shaim) melepaskan diri dari jerat ketergantungan pada materi, sebagai santapan jasmani. Untuk menjadi manusia yang sempurna harus ada perimbangan (tawazun) antar keduanya. Dan berpuasa adalah satu jalan menuju perimbangan itu. Puasa juga memberi asupan gizi untuk menghidupkan rohani. Orang yang berpuasa semakin menyadari bahwa dirinya adalah hidup diantara jasmani dan rohani. Di mana kedua-duanya harus mendapatkan asupan gizi yang seimbang.

Makna puasa bagi yang melaksanakannya adalah proses pelemahan dan pengendalian hawa nafsu, yang terkadang mengantarkan manusia pada perbuatan dosa dan maksiat yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaiaman kita maklumi bahwa hawa nafsu cenderung mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang enak, mudah dan menyenangkan ketimbang yang benar, sesuai dengan norma dan ajaran agama.

Makna berpuasa sebagai sarana pelemahan hawa nafsu adalah karena saat berpuasa tenaga kita berkurang, akibat berkurang dan berubahnya ritme asupan gizi jasmani. Begitu pula dengan hawa nafsu yang kita miliki. Kita akan memilih untuk melakukan hal yang penting dan strategis dengan membuat skala prioritas karena tenaga yang terbatas. Lain halnya saat tidak berpuasa, karena energi berlebih, seringkali kita melakukan hal yang tidak penting, seperti bergunjing (ghibah), jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas, dan lain-lain. (Frager, 1999: 202).

Puasa mampu menghancurkan tajamnya syahwat dan mengendalikan nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah: Hai, golongan pemuda! Jika di antara kamu ada yang mampu kawin hendaklah ia kawin, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa karena berpuasa itu dapat melemahkan nafsu syahwat. (Hadits Riwayat Jamaah)

Puasa juga bermakna penguatan tekad. Saat berpuasa, meski kita haus dan lapar, kita tidak mungkin makan dan minum. Saat rasa itu tiba, kita tidak menurutinya, bahkan kita bertekad untuk tetap bertahan sampai tiba waktunya berbuka puasa (maghrib). Dan bila bulan Ramadhan, proses ini terjadi setiap hari selama 30 hari. Itu artinya proses berlatih untuk bertekad menggapai sesuatu dilakukan dalam waktu yang lama (Frager, 1999: 203). 


Karena itu, puasa juga melatih pelakunya untuk berlaku jujur. Dengan tekad dan semangat yang bulat, seseorang dapat menyelesaikan puasa dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Kita dapat saja makan dan minum, tanpa diketahui oleh siapapun. Maka sesungguhnya yang mengetahui orang itu berpuasa atau tidak adalah dirinya dan Allah Swt, bukan yang lain. Karena itu, orang yang berpuasa ada mendapatkan kegembiraan, sebagaimana Nabi Saw bersabda : “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kastur." (HR Abu Hurairah)

Bayangkan jika semua penyelenggara negara, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, di negeri ini bertekad bulat menjalankan amanah dengan penuh kesungguhan, sebagaimana diucapkan saat dilantik di bawah kitab suci dari agama yang diyakininya, tentu negeri akan cepat menjadi negeri yang adil dan makmur. Dan ketika setelah selesai menjalankan tugasnya (paripurna), ia akan menjalani masa pensiun berkumpul bersama keluarganya dengan penuh ketenangan.

Puasa juga mengajarkan kita untuk tidak menjadi budak bagi kebiasaan kita (Frager, 1999: 202). Sebagian besar kita tunduk pada kebiasaan, misalnya makan di siang hari. Saat berpuasa, kebiasaan itu tidak lagi kita lakukan. Hampir semua perbankan nasional melaporkan bahwa penyaluran dana pihak ketiga paling banyak (sampai 70 persen) adalah untuk sektor konsumtif. Begitu juga APBN dan APBD di negeri ini, paling banyak digunakan untuk belanja rutin pegawai, yang angkanya mencapai 60 persen.

Bahkan pada bulan puasa, ketika seharusnya umat Islam yang mayoritis di negeri berpuasa, tetapi faktanya terjadinya kenaikan harga-harga barang sehingga menyebabkan tingginya inflasi. Dengan puasa diharapkan, kita tidak lagi berbuat sesuatu karena kebiasaan semata. Kita mesti melatih diri untuk berbuat di luar kebiasaan. Itulah hakekatnya kita berbiasa. Wallahua’lam